Harta Karun
Keluarga
Oleh :
Dwiyanto
Nikmat Tuhan tidak akan pernah
habis, keberkahannya selalu melingkupi kita. Tuhan memberikannya secara cuma-Cuma, Dia juga tak
pernah pandang bulu. Tak peduli betapa banyaknya dosa dan kesalahan kita, Tuhan
selalu mengasihi kita. Kasih itu
diwujudkan dalam bentuk nikmat yang sangat banyak. Tak terhitung jumlahnya. Dari
sekian wujud nikmat Tuhan tersebut terseliplah sebuah nikmat yang kadang kita
merasa lupa dan tidak bersyukur pada Tuhan atas nikmat tersebut. Satu nikmat
itu ialah keluarga, sebuah keluarga yang utuh dan harmonis adalah nikmat,
berkah, sekaligus impian bagi tiap-tiap insan
di muka bumi ini. Keberadaannya begitu dinanti dan diupayakan sekuat tenaga
bagaimana pun caranya. Keberadaannya menjadi sangat penting karena keluarga
adalah lembaga pendidikan utama dan pertama seorang manusia yang baru lahir. Keluargalah
yang mendidik dan membekali anak-anak dengan nilai-nilai dasar kehidupan. Oleh karena itu, latar belakang keluarga
inilah yang mampu menetukan seorang
anak manusia menjadi manusia yang baik atau
tidak, berguna bagi banyak orang, menjadi warga negara yang baik atau tidak, dan menjadi tokoh teladan atau tokoh yang tidak disukai di
masyarakat.
Keluarga yang harmonis dan
bahagia dapat diwujudkan. Meskipun ada kalimat yang menyangkal hal itu, “keluarga
yang harmonis hanya ada di negeri dongeng”, hal itu tidak sepantasnya
meruntuhkan niat kita untuk mewujudkan keluarga yang harmonis dan bahagia. Kita
memang tidak mampu menyangkal kalimat itu seutuhnya. Kita sering sekali menemukan kasus keluarga yang tidak harmonis di
lingkungan kita. Karena itu kita harus menyadari bahwa di setiap keluarga pasti
ada permasalahan-permasalahan tertentu yang harus diselesaikan. Kerikil-kerikil
dalam keluarga pasti ada. Hal itu tidak sepantasnya membuat kita menyerah dan
putus asa karena hakikat hidup di dunia ini adalah ujian, tak terkecuali
kebahagian itu sendiri karena ia juga merupakan ujian dari Tuhan untuk melihat
siapa di antara hamba-Nya yang paling baik amalannya. Kita sepantasnya mencari
solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada bukan malah membuatnya menjadi
semakin gaduh dan memecah belah persatuan anggota keluarga. Ada satu pepatah yang dapat kita ambil untuk selalu
menguatkan semngat kita dalam menghadapi cobaan/masalah keluarga. Pepatah itu
berbunyi “Hidup itu bukan hanya mencapai kesejahteraan melainkan untuk
berjuang.” Berjuang, berjuang, dan berjuang. Kerja, kerja, dan kerja. Kerja
cerdas, kerja keras, dan kerja ikhlas!
Begitu juga dengan ku, Iyant Saputro,
seorang mahasiswa kependidikan di salah satu universitas terkenal di
Yogyakarta. Aku berhasil memasuki dunia perkuliahan dikarenakan mendapat
beasiswa. Saat pengumuman penerimaannya muncul dan namaku tercantum sebagai
salah satu penerimanya, syukur tanpa berkesudahan ku panjatkan dengan lisan dan
juga hatiku. Begitu juga dengan kedua wajah orang tuaku yang memancarkan senyum
dan tangis sekaligus bangga padaku. Salah satu anak mereka mampu menembus dunia
perkuliahan dan sampai sekarang dapat menempuhnya dengan baik. Bahagia sekali
rasanya keluarga kami saat itu. Penuh rasa syukur dan air mata. Jujur saja
keadaan keluarga kami memang kekurangan, gaji bapakku hanyalah berkisar lima
ratus ribuan perbulan, Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang pekerjaannya setiap hari mengurusi
rumah tangga dan mencari pakan untuk seekor sapi warisan nenek kami yang
meninggal sekitar dua tahun yang lalu dan seekor kambing gaduhan milik nenek dari Ibuku. Kedua ternak itu adalah harta kami.
Tempat kami menabung. Walaupun tak seberapa jumlahnya, bahkan bukan apa-apa, setidaknya kami mempunyai tempat
untuk menimbang dan menaruh asa. Gaduhan adalah sistem merawat kambing
atau ternak yang lain oleh penggaduh (bukan
pemilik ternak yang asli) untuk dirawatnya sampai
dengan perjanjian yang disepakati antara pemilik dan penggaduh ternak tersebut dengan
mendapatkan keuntungan tertentu sesuai dengan kesepakatan. Dengan kondisi
ekonomi yang pas-pasan yang seperti itu, Bapak harus menanggung tiga orang
anaknya yang sedang sekolah. Adik lelakiku sedang menempuh pendidikan kelas
terakhirnya di salah satu sekolah menengah kejuruan terbaik di propinsi kami
sedangkan adik perempuanku sedang menempuh pendidikan kelas pertamanya di salah
satu sekolah dasar negeri di perbatasan kecamatan kami dengan jarak sekitar
1200 km dari rumah kami. Melihat hal itu bisa dibayangkan betapa beratnya
membiayai pendidikan tiga anak keakungannya tersebut bila aku yang notabene
sudah beranjak menempuh pendidikan tinggi tidak memperoleh beasiswa sebagai
penopang utama sumber dana untuk
membayar kebutuhan perkuliahan. Pasti berat
sekali. Membayangkannya saja ku tak kuasa apalagi hal itu bila terjadi secara
nyata dalam kehidupanku, dapat dipastikan bahwa aku akan mengubur dalam-dalam
mimpiku mengarungi samudera pendidikan tinggi.
Meskipun begitu, Bapak dan Ibu tidak
pernah mengajarkanku untuk tidak memiliki
mimpi. Bagi keluargaku mimpi adalah harta karun utama kami. Bapak tidak pernah
menganggap bahwa lemahnya ekonomi kita menjadi penghalang kita untuk mempunyai
cita-cita yang tinggi. Bapak selalu berpesan bahwa keadaan sekarang ini bukanlah
keadaan ideal sehingga perlu diperbaiki di masa depan. Ibuku selalu mengajarkan
bahwa mimpi yang tinggi adalah modal
dasar untuk mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat. Ketika aku dan
adik-adikku merasa pesimis dengan mimpi kami, Ibu selalu menimpali; “Loh kenapa
kita harus takut bermimpi?”
“Apakah
kalian takut kalau mimpi kalian gagal?”
Setelah itu
Ibu akan berpidato panjang lebar mengenai mimpi dan cita-cita sekadar untuk
menguatkan kami baik hati maupun fisik kami. Ibu menambahkan bahwa setiap orang bebas bermimpi dan menaruh cita-cita yang
tinggi. Mimpi itu gratis kok, begitulah
kata Ibu. Ya setiap mimpi itu gratis, kita tidak perlu membayar untuk
memilikinya, namun Ibu selalu berpesan bahwa mimpi dan cita-cita yang tinggi
itu mempunyai harga yang mahal, tidak gratis, dan perlu usaha yang gigih untuk
mewujudkannya. Ada satu kunci untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu dalam waktu
singkat, tambah Bapak. Keduanya lalu tersenyum memberikan sebuah teka-teki.
“Apa itu Pak?”, timpalku bersama
dengan kedua adikku.
“Apakah Bapak punya kunci ajaib atau
Ibu punya mesin ajaib untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita?”
Bapak dan
Ibu tertawa terbahak-bahak sambil berujar ada-ada saja putra dan putri mereka dengan penuh gelak tawa. Ibu lalu
secara perlahan menjelaskan bahwa kunci itu ialah sikap pantang menyerah dalam
menghadapi ujian, cobaan, dan tantangan dalam kita menggapai cita-cita. Semakin
kita gigih dan pantang menyerah dalam mewujudkan cita-cita tersebut maka waktu
yang kita gunakan untuk mencapai mimpi tersebut semakin singkat. Bapak menjelaskan bahwa ketika kita sudah menghadapi
banyak tantangan, cobaan, dan hambatan hal itu berarti bahwa kita semakin dekat
dengan kesuksesan. Tinggal sebentar lagi, tambah Bapak sebagai penegasan
ucapannya pada kami. Selepas mendapatkan vitamin dan suplemen semangat dari
kedua malaikat kami itu, aku dan adik-adikku kembali belajar di kamar kami masing-masing sambil merenungi
cita-cita kami masing-masing. Aku tak pernah tau apa mimpi kedua adikku. Kami
memang saling merahasiakan mimpi-mimpi kami untuk memberikan kejutan berupa
berita bahagia saat kami dapat mencapai mimpi kami. Sebagai contohnya saat aku
berhasil lolos seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes, langsung kukabarkan berita bahagia tersebut pada seluruh anggota
keluarga, tak terkecuali kedua adikku yang lucu itu pada saat kumpul malam
selepas sholat Isya. Mereka pun sontak terkejut
dan bahagia sekaligus memberikan ucapan selamat kepadaku. Adikku yang sedang
belajar di SMK pun mengingatkanku untuk belajar dengan giat, sungguh-sungguh,
dan fokus dalam mencapai prestasi walaupun aku tidak perlu memikirkan bagaimana
cara membayar uang perkualiahan karena aku mendapat bantuan beasiswa. Ibuku
menambahkan bahwa aku tidak boleh mengecewakan negara yang telah memberikan
bantuan biaya pendidikanku itu, melainkan aku
harus lebih semangat lagi dalam berprestasi. Sejak saat itu mulailah ku renungi
mimpi selanjutnya yang akan ku wujudkan. Satu persatu mimpiku mulai kutulis
dalam secarik kertas. Awalnya aku ragu tapi aku tetap menuliskannya secara urut
tanpa pandang apakah mimpi itu besar atau kecil. Semua mimpi dan keinginanku kutuliskan di dalamnya. Sambil menulis,
kupermantap cita-cita dan keinginanku tersebut.
Aku pernah berpikir tentang
kehidupan sebuah negeri di luar negeri kita
sendiri, Indonesia. Bukan lantaran
aku tidak bersyukur bisa dilahirkan di negeri yang aman dan damai seperti ini,
bukan juga karena aku telah bosan tinggal di negeri permai ini. Banyak hal yang
ingin kuketahui. Banyak hal telah membuatku penasaran akan kehidupan di luar
sana. Bagaimana cara mereka bersosialisasi dalam kehidupan
sehari-hari, bagaimana kebudayaan mereka, apakah mereka kaya akan sumber daya
alam, dan apakah mereka mempunyai masalah-masalah dalam dunia pendidikan
seperti apa yang setiap hari dibahas dalam dunia perkuliahanku. Bagaimana sistem pendidikan di sana, apakah semua minat
dan bakat peserta didik sudah diwadahi dan ditampung atau belum. Pertanyaan-pertanyaan
itu muncul secara tiba-tiba dalam benakku.. Aku begitu penasaran dengan itu
semua. Bahkan ketika aku membaca beberapa artikel
atau novel yang menyinggung kehidupan luar negeri, aku langsung tertarik dan membayangkan kehidupan di luar sana. Alangkah senangnya dalam benakku. Alangkah bahagianya bila diriku bisa menginjakkan kaki di luar negeri. Alangkah bahagianya
bisa mengenal orang-orang di sana. Alangkah senangnya bila aku dapat
mempelajari kebudayaan luhur mereka. Sejuta keinginan dan kebahagian itu selalu
kupeluk saat menjelang tidur. Bak sebuah selimut, mimpi-mimpi itu selalu ku kenakan
setiap kali tidur. Pada awalnya aku merasa
bahwa mimpiku itu hanyalah mimpi sebagai penyegar pikiran saja selepas penat
berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan.
Kupikir mimpi itu hanyalah buah angan saja, namun itu semua berubah
seratus delapan puluh derajat semenjak kuceritakan mimpi itu pada kedua orang
tuaku.
“Masya Allah, Nak. Mimpimu itu patut
diwujudkan jangan kau diamkan saja! Cari
jalan untuk mencapainya”, sambut Bapakku. Ibuku pun bersikap demikian, Beliau
menunjukkan sikap antusias yang tinggi dalam menyimak cerita mimpi itu.
Suplemen dan vitamin semangat sekaligus dorongan yang begitu kuat untuk mewujudkan mimpi kembali mereka tiupkan
dengan kencang menuju hati sanubariku yang paling dalam. Di akhir perbincangan
kami, ada satu pesan Ibuku yang amat menggetarkan jiwa dan hatiku. Secara
perlahan Ibu membisikkan kalimat itu. Pelan
tapi pasti.
“Nak bolehlah kita miskin harta atau
kekayaan duniawi, tapi kita tidak boleh miskin mimpi dan pengalaman. Mimpi akan
menuntunmu untuk mempunyai banyak pengalaman. Lakukanlah, kejarlah, dan raihlah
mimpi itu. Jangan kau berhenti dan tidak berbuat apa-apa. Bila masanya tiba nanti kau akan memetik dari apa
yang telah engkau tanam, sekecil apapun itu kamu akan
menuainya. Saat kau menebar mimpi dan membangunnya, maka bukan tidak mungkin
kamu akan sukses”, pesan Ibu.
Begitu hebat getaran hatiku
saat itu. Ku tak pernah menyangka Ibu akan memberikan nasehat seperti itu. Mulai ku renungi pesan Ibuku secara mendalam. Kata demi kata mulai kurenungi, ku masukkan dalam hati. Meskipun
kelurga kami termasuk keluarga miskin, namun kami tidak boleh miskin cita-cita,
ilmu, dan pengalaman. Ku haruslah yakin bahwa
mimpi itu bisa terwujud. Dua kalimat yang menjadi peganganku, kalimat penggugah semangat, dan kalimat pendorong, dimana ada keinginan, pasti ada jalan dan dimana kita
bergerak pasti menemukan arah. Hal itu berarti bahwa saat kita mempunyai
mimpi ketika kita telaah mimpi itu kita pasti akan menemukan jalan untuk
mencapainya dan saat kita bergerak kita juga akan menemukan arah dan masalah.
Masalah itu bukanlah sesuatu yang
menghalangi kita dari kesuksesan melainkan ia adalah batu loncatan sehingga
kita akan mampu menjadi sosok yang solutif, tangguh, dan berpengalaman. Masalah itu akan membimbing kita menuju mimpi-mimpi
kita.
Sejak itu mulai ku bergerak
maju. Ku cari berbagai informasi
program yang dapat mengantarkan ku belajar ke luar negeri. Informasi-informasi
itu kuhimpun dari berbagai media. Melalui media elektronik adalah yang paling
dominan. Ada banyak memang, namun beberapa
program mempunyai beberapa syarat yang belum kupenuhi. Aku belum lulus pendidikan S1, aku belum pernah test
TOEFL, dan aku belum mempunyai paspor. Mulai ku cari lagi info-info
program sejenis. Ku cermati satu persatu
ketentuan programnya hingga ku menemukan sebuah program International Youth Summit yang berani membiayai pesertanya secara penuh untuk
belajar jangka pendek di negeri jiran, Malaysia dan negeri singa, Singapura. Selain itu,p rogram itu tidak mempersyaratkan
pesertanya untuk lulus S1, skor tertentu dalam test TOEFL, dan tidak
mengharuskan pesertanya mempunyai paspor, bahkan panitia menjanjikan akan
membuatkan paspor untuk peserta yang lolos seleksi. Ya, tahapan yang harus
dijalani peserta adalah membuat essay dan melakukan wawancara dalam bahasa
Inggris. Ku mulai memantapkan niat dan usaha untuk mengikuti program itu.
Kumulai usahaku dengan cara mencari
beberapa contoh essay dan berbagai artikel tentang ketentuan dalam membuatnya.
Melalui contoh-contoh karya essai itu aku memberanikan diri untuk membuatnya
dengan berpedoman pada beberapa ketentuan pembuatan essay yang kudapatkan dari
berbagai sumber itu. Secara perlahan dan hati-hati serta konsekuen aku mulai membuatnya.
Ku tuangkan ide yang ada di kepalaku dengan kata-kata yang mudah dipahami dalam
bahasa Inggris. Mudah kupahami dan mudah dipahami orang lain itulah harapanku.
Setelah itu mulai kuhubungi beberapa senior di SMA-ku yang kukenal pandai,
cakap, dan terampil dalam membuat essay berbahasa Inggris, selain punya pegalaman
pernah belajar di luar negeri. Melaluinya ku minta bantuan untuk memberikan
koreksi pada karya essay berbahasa Inggrisku yang pertama itu. Selang beberapa
hari hasil koreksi dari seniorku itu kuterima dan lekas kuperbaiki essay
amatiranku tersebut. Hal-hal yang tidak kumengertipun ku tanyakan padanya
dengan harapan dapat menambah kesiapanku dalam menghadapi seleksi wawancara
jika aku berhasil lolos pada seleksi yang pertama yaitu seleksi essay dan
administrasi ini. Besar sekali harapanku untuk lolos dalam seleksi tahap pertama
itu karena tahapan itu adalah gerbang pertama yang harus kulalui untuk bisa
memenangkan hadiah pergi ke luar negeri itu. Setelah kurasa cukup baik dan
sudah kuusahakan secara maksimal, akhirnya essayku itu kukirim pada panitia International
Youth Summit melalui
wesite mereka. Setiap hari tak henti-hentinya kudoakan essayku itu saat sholat
malam dengan harapan agar bisa lolos 100 terbaik. Aku secara sengaja tidak
pernah memberitahukan kompetisi yang tengah kujalani ini pada kedua orang
tuaku. Kuhanya meminta mereka untuk ikut mendoakanku semoga bisa lolos dalam
setiap perlombaan yang kuikuti serta kesuksesan menyertaiku. Saat mereka
bertanya sukses atau berhasil dalam kejuaran apa, aku selalu menjawab dalam
kompetisi apapun untuk menjawab rasa penasaran mereka. Kurencanakan hal itu,
bila kuberhasil In Shaa Allah bisa
menjadi hadiah terbaik pertamaku pada mereka setelah ku memasuki dunia
perkuliahan.
Hari yang dinantikan pun telah tiba
masanya. Hari itu adalah hari dimana pengumuman 100 essay terbaik dalam
kompetisi itu dikeluarkan. Harap-harap cemaslah yang kurasakan. Sudah seminggu
belakangan ini aku merasa tidak enak badan. Badan terasa pegal-pegal, batuk
setiap saat, dan sempat demam selama dua hari berturut-turut. Rasa-rasanya
pengumuman itu bisa menjadi obat yang akan mebantu kesembuhanku atau racun yang
akan memperburuk keadaanku. Dengan penuh harap bahwa Tuhan akan menjawab doa
dalam setiap sholat malamku, secara perlahan dalam keadaan hati yang
berdebar-debar mulai kuberanikan membuka pengumuman di website itu. Ku baca
pengumuman itu dengan seksama, peserta yang lolos ku baca satu persatu namanya.
Kumulai cemas saat hitungan angkanya sudah menapaki angka lima puluhan namun
namaku belum juga dimunculkan. Astagfirullah, segala rasa kesal dan kecewa
mulai muncul dalam hatiku namun tetap ku tahan untuk bisa membaca deretan angka
dan namnya itu sampai dengan angka seratus. Alhamdulillah senyuman mulai
hinggap di wajahku saat hitungan angkanya mencapai angka delapan puluh tiga, ya
namaku ada di situ. Syukur seketika kupanjatkan pada Tuhan sekalian alam. Tak
kusangka usaha yang selalu kusemogakan itu dijawab oleh Tuhan. Alhamdulillah.
Seleksi berikutnya sekaligus seleksi
tahap akhir adalah seleksi wawancara. Kuhubungi kembali senior SMA-ku itu, ku
cerca ia dengan banyak pertanyaan tentang wawancara sejenis yang pernah ia lalui.
Berbagai tips dan trik pun kudapatkan secara cuma-cuma darinya. Hal-hal yang
perlu dihindari saat wawancara pun ku ingat betul dalam memori dan mulai ku
jauhi terutama kebiasaan gemetar saat ditanya dalam bahasa Inggris, terlalu
lama dalam menjawab atau memberi respon, dan pandangan mata ke atas atau tidak
menatap pewawancara saat wawancara berlangsung. Tentunya hal itu tidak bisa
kita pelajari seketika, maka dari itu ku coba melakukan wawancara melalui
aplikasi WA (WhatsApp) dengan kakak
seniorku itu. Sedikit canggung memang namun hal itu membuatku nyaman dan cukup
membantu menuruku karena aku selalu meningat nasehat guru SD-ku bahwa latihan
itu membuat kita semakin siap dalam mengahadapi apapun, practice makes perfect, does not it?
Jadwal wawancaraku pun telah sampai
pada tanggal yang ditentukan. Ku siapkan diri ini untuk mendapatkan cercaan
pertanyaan pewawancara dari panitia International Youth Summit melalui WA. Wawancara itu dilaksanakan pada pukul
17.00 sampai dengan 17.15 WIB. Kulalui wawancara itu dengan cukup tenang dan
cukup percaya diri. Senyuman terbaikku selalu kuberikan pada pewawancara.
Anggapan bahwa pewawancaranya super galak dan tidak ramah pnu terbantah sudah melalui waktu lima belas
menit itu. Pewawancaranya begitu ramah, murah senyum, dan rendah hati. Ia selalu
berupaya mengerti apa yang kita sampaikan meskipun kadang apa yang kita
sampaikan terlalu susah untuk dimengeti. Aku berusaha menyampaikan maksudku
sedetail mungkin dan juga berupaya untuk tidak demam panggung saat berbincang
dengannya. Bagiku, diriku cukup sukses dalam melalui tahap ini. Doa syukur dan
harap yang tanpa kesudahan pun mulai ku lantunkan lagi. Satu bulan adalah waktu
untuk menunggu kepastian program itu. Orang tuaku kembali ku mintai bantuan doa
seperti sebelumnya. Dengan senyum yang indah mereka membalas permintaan ku itu.
Isyarat yang sudah pasti ku mengerti bahwa mereka akan dengan senang hati
melakukannya.
Setelah tiada jemu ku menunggu waktu
pengumuman peserta yang akan dibiayai secara penuh dan ada yang dibiayai
sebagian, akhirnya pengumuman itu dikeluarkan bertepatan dengan hari ulang
tahun Ibuku dan Alhamdulilah namaku dinyatakan sebagai peserta pertama yang
dibiayai secara penuh untuk menempuh pendidikan singkat di kedua negara
tetangga kita tersebut. Yes mimpiku
menjadi kenyataan. Satu lagi mimpi keluarga ku dapat terwujud. Hal itu juga
menjadi salah satu hadiah terbaik bagi kedua orang tuaku, apalagi bertepatan
dengan hari ulang tahun Ibuku. Syukur pun kami haturkan pada Tuhan, satu
persatu mimpi keluarga kami menjadi kenyataan. Kebahagiaan waktu kumpul kami
malam itu pun bertambah dengan kabar bahwa adikku akan mendapatkan beasiswa
penuh dalam menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas terbaik di
kota Bandung. Syukur pun kembali kami panjatkan. Kejutan-kejutan dalam malam
itu pun masing-masing kami ceritakan, juga tentang mimpi-mimpi kami yang akan
kami wujdukan selanjutnya. Bahagianya kami saat itu tanpa bisa kami lukiskan. Secara
pribadi, bagiku harta karun keluargaku bukan terletak pada rumah, tanah, atau
hewan peliharaan kami, melainkan ia ialah waktu berkumpul bersama keluarga
sambil membicarakan mimpi atau cita-cita masing-masing yang akan diwujudkan
dengan komitmen yang kuat. Ya mimpi itu adalah harta karun kami yang belum
pernah kami wujudkan. Kami selalu beranggapan bahwa mimpi itu adalah harta yang
belum kami tukar dengan bentuk nyata yang dapat dilihat oleh mata atau
dirasakan oleh hati namun keberadaannya tetap membuat kami semangat dan
tergugah dalam menjalani hidup yang sangat singkat ini. Kami tidak tahu bentuk
akhir dari mimpi dan cita-cita kami itu tapi kami yakin kami dapat mewujudkannya
selagi kami selalu berusaha mencari jalannya. Bagi kami waktu berkumpul bersama
keluarga adalah sesuatu yang mahal tanpa perumpamaan karena di dalamnya kami
akan membicarakan puluhan bahkan ratusan mimpi-mimpi keluarga kami yang
notabene merupakan harta karun keluarga kami. Tidak ada yang bisa mengganti
atau membelinya, semahal apapun itu. Sangat mahal!
BIODATA
PENULIS
Nama saya
adalah Dwiyanto TTL : Kulon Progo, 31 Maret 1997. Saya tinggal di rumah
sederhana milik Pak Basuki, ayah saya, yang beralamatkan RT 36/18 Banyunganti
Lor, Kaliagung, Sentolo, Kulon Progo 55664. Sekarang saya belajar di
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Saya dapat dihubungi melalui surel : dwieyanto0@gmail.com atau WA (0878 3996
0840).